ANALISIS WACANA KRITIS FILM “PUTERI GIOK”: CERMIN ASIMILASI PAKSA ERA ORDE BARU

Authors

  • Rustono Farady Marta Program Studi Ilmu Komunikasi - Universitas Bunda Mulia, Jakarta

DOI:

https://doi.org/10.14203/jmb.v17i3.323

Abstract

Abstrak Media massa merupakan salah satu sarana bagi setiap bangsa untuk memperkenalkan perjalanan sejarahnya dari masa ke masa. Salah satu perekam jejak yang paling efektif adalah film nasional. Film nasional dapat merefleksikan proses konstruksi identitas yang ditampilkan, baik visual maupun nonverbal. Salah satu film nasional yang menggambarkan hal tersebut adalah “Puteri Giok†yang dibesut oleh Maman Firmansjah pada tahun 1980. Film tersebut berkisah mengenai konflik tentang asimilasi melalui relasi seorang remaja putri bernama Han Giok Nio dan Han Tek Liong sebagai kakaknya. Konflik muncul akibat opini TuanVijay, rekan bisnis Han Liong Swie, ayah Giok dan Tek Liong, mengenai hubungannya dengan Herman seorang pribumi. Kemarahannya memuncak hingga menggunduli rambut Giok. Tak pelak, Tek Liong mendatangi kantor TuanVijay untuk menyadarkannya melalui Pancasila serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dipahaminya sebagai upaya meredam rasialisme. Peneliti menggunakan wacana Leeuwen untuk menyibak pola bercerita film yang mengetengahkan tokoh minoritas yang dibungkam dari berbagai tataran identitasnya, bahkan seakan-akan memperjuangkan terjadinya pembauran. Film ini memperlihatkan adanya doktrin Pancasila serta subordinasi dari pemangku kebijakan di era pemerintah Orde Baru melalui BP 7 dan BAKOM PKB serta doktrin Pancasila. Selain itu, praktik-praktik diskursif berupa “asimilasi paksa†tampak melalui wacana film. Kata kunci: Film Nasional, Wacana Kritis Leeuwen, Asimilasi Paksa Abstract Mass media is one way for each nation to introduce their history now and then. One of the most effective track records is the national movie, which reflects the process of identity construction both visual and nonverbal. The national movie "Puteri Giok"—directed by Maman Firmansjah in 1980—told the story of a teenage girl, namely Han Giok Nio and her brother, Han Tek Liong, who dealt with assimilation issue. Conflict arised from the opinion of Mr. Vijay as a business partner of Han Liong Swie, the father of Giok and Tek Liong about her relationships with Herman—a “pribumiâ€, which led to cut Giok’s hair bald. In the conflict, Pancasila and the motto ‘Unity in Diversity’ were understood to prevent racism. Researcher used Leeuwen critical discourse to uncover the pattern of the movie, which muted the minority figures from their identities, even as though fighting for assimilation. The movie shows that there was Pancasila doctrinal as well as assimilation that reflected the subordination of the New Order regime through BP 7 and Bakom PKB. Moreover, the discursive practices in the movie also showed the "forced assimilation". Keywords : National Movie , Leeuwen Critical Discourse, Forced Assimilation

Downloads

Download data is not yet available.

References

Ardener, Edwin. (1975). Belief And The Problem Of Women.. London: Malaby Press.

Clark, H. Herbert. (1994). Discourse in Production. San Diego: Academic Press

Dieleman, Marleen, Juliette Koning, and Peter Post, (2011). Chinese Indonesians and Regime Change. Leiden: Koninklijke Brill NV Fairclough, crossref

N.L. and Ruth Wodak. (1997). Critical Discourse Analysis. London: Sage

Fowler, R. B. Hodge, G. Kress dan T. Trew. (1979). Language and Control. London: Routledge dan Kegan Paul.

Johnstone, Barbara. (2002). Discourse Analysis. Oxford: Blackwell Publishers.

Kridalaksana, Harimurti. (2008). Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kristianto, J.B. (2005). Katalog Film Indonesia 1926 – 2007. Jakarta: Penerbit Nalar. Leeuwen, Theo Van. (2005). Introducing Social Semiotics. Routledge Taylor & Francis.

Moeliono, Anton M. (1988). Tata Bahasa Buku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. (2007). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imperial Bhakti Utama.

Issue

Section

ARTICLES