MAKNA BUDAYA TRADISIONAL BELU BAGI MULTIKULTURALISME: TINJAUAN FILSAFAT

Authors

  • Endang Retnowati P2KK LIPI

DOI:

https://doi.org/10.14203/jmb.v19i2.504

Keywords:

budaya tradisional, eksistensi, multikulturalisme, budaya global

Abstract

Masyarakat Belu merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang masih melestarikan kebudayaan tradisional mereka. Walaupun sudah ada peraturan daerah untuk meneguhkan pelestarian budaya tradisional di wilayah Belu, tetapi saat ini kebudayaan tradisional Belu dihadapkan pada tantangan budaya global. Apabila masyarakat Belu masih mempraktikkan budaya tradisional di tengah perkembangan budaya global, apa makna budaya tradisional Belu di tengah budaya global bagi multikulturalisme? Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan pemahaman mengenai makna budaya tradisional Belu bagi multikulturalisme di Indonesia dari perspektif filsafat. Budaya tradisional Belu merupakan warisan nenek moyang beberapa suku bangsa yang hidup di Belu dan luar Belu seperti Timor Leste, Kalimantan, dan pulau-pulau lain di Indonesia. Hingga kini mereka memiliki kebebasan untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai di dalamnya di atas dasar hukum. Sejak Indonesia merdeka para pendahulu kita melindungi budaya tradisional melalui konstitusi, kemudian negara turut melindungi melalui beberapa peraturan, yaitu melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri hingga bentuk Peraturan Daerah Kabupaten Belu.Budaya tradisional Belu merupakan salah satu budaya yang memiliki andil bagi predikat multikulturalisme di Indonesia.Pada perkembangannya kini sebenarnya tantangan terhadap budaya tradisional datang dari budaya global yang membangun nilai hedonis-konsumeris pada generasi muda. Budaya global banyak menawarkan kemudahan-kemudahan. Dengan demikian apa makna budaya tradisional Belu di tengah budaya global bagi multikulturalisme? Artikel ini disusun berdasarkan data pustaka dan lapangan. Data kemudian ditata, dideskripsikan, dipahami, dan direfleksikan sesuai dengan kerangka pemikiran.Atas dasar itu semua ditemukan bahwa makna budaya tradisional Belu adalah sebagai jalan merawat multikulturalisme di tengah kehidupan global. Nilai-nilai di dalamnya mampu memelihara persatuan dan kesatuan di antara mereka.Pelestarian budaya tradisional, dalam hal ini pelestarian nilai-nilai tradisional yang memiliki kekuatan sebagai alat integrasi bangsa sama artinya dengan merawat multikulturalisme di tengah kehidupan global. Di sini peran setiap anggota masyarakat sebagai homo religiosus sangat penting. Karena itu pendidikan tentang budaya tradisional atau multikulturalisme perlu diberikan kepada generasi muda. The purpose of this study is to express an understanding of meaning of Belu's traditional cultural for multiculturalism in Indonesia from a philosophical perspective. Belu traditional culture is the heritage of some ancestors who live in Belu and outside Belu such as Timor Leste, Kalimantan, and other islands in Indonesia. Until now they have the freedom to maintain and develop their values on the basis of the law. Since Indonesia's independence our Bapak Pendiri protect the traditional culture through the Constitution, then the state protects through several regulations, namely the Minister of Home Affairs Regulation to form the Regional Regulation of Belu Regency. The traditional culture of Belu is one of the cultures that has contributed to the predicate of multiculturalism in Indonesia. In its development is now actually a challenge to traditional culture comes from global culture that is able to build a hedonic-consumtive values in the younger generation. Global culture offers many conveniences. What is the meaning of Belu's traditional culture in the middle of a global culture for multiculturalism? This article is based on library and field data. The data is then organized, described, understood, reflected in accordance with the frame of thought. On the basis of it all found that the meaning of Belu traditional culture is a way of caring for multiculturalism in the midst of global life. Values in it are able to maintain unity and unity among them. Preservation of traditional culture, in this case the preservation of traditional values that have the power as a tool of national integration is tantamount to caring for multiculturalism in the middle of global life.Here the role of each member of society as homo religiosus is very important. Therefore, education on traditional culture or multiculturalism should be given to the younger generation.

Downloads

Download data is not yet available.

References

Azra, Azyumardi. (2007). Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius.

Bagus, Lorenz. (2000). Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedias Pustaka Utama.

Bourdieu, Pierre. (1995). Outline of A Theory of Practice. (Translated by Richard Nice). Cambrideg: Cambridge University Press.

Cassirer, Ernst. (1987). Manusia dan Kebudayaan. (Terjemahan Agus Nugroho). Jakarta: PT. Gramedia.

Cerita Gunung Lakaan, Jero Halilulik. http://duniatalerun.blogspot.co.id/2012/0 3/cerita-gunung-lakaan.html

Drijarkara. (1966). Pertjikan Filsafat. Jakarta: PT Pembangunan Djakarta.

Giddens, Anthony. (1986). The Constitution of Society. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.

Habba, John, dkk..(2016). Peran Bahasa dan Budaya Dalam Konteks Keutuhan NKRI: Konstruksi Identitas dan Nasionalisme di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.

Humaedi, Alie, dkk.(2013). Mekanisme Internal Pelestarian Bahasa dan Budaya Kafoa. Jakarta: PT Gading Inti Prima.

http://www.kampungide.com/2011/11/kampung- unik-suku-matabesi-di-belu.html

http://duniatalerun.blogspot.co.id/2012/03/cerita- gunung-lakaan.html

Inwood, Michael. (1977). Heidegger. New York: Oxford University Press.

Kabupaten Belu Dalam Angka (Belu in Figures). (2014). Badan Statistik Kabupaten Belu.

Keesing, Roger M. (1981). Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer, Jilid 2. (Terj.R.G. Soekadijo). Jakarta: Erlangga.

Magnis-Suseno, Franz. (1995).Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.

……………………… (2008). Etika Kebangsaan Etika Kemanusiaan 79 Tahun sesudah Sumpah Pemuda. Yogyakarta: Kanisius.

Mangunhardjono, “Homo Religiosus menurut Mircea Eliadeâ€, dalam Sastrapratedja,

M. (1982). Manusia Multi Dimensional Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Gramedia.

Mombasu, Gregor. (2016). Citra Manusia Berbudaya. Sebuah Monografi tentang Timor dalam Perspektif Melanesia. Jakarta: LKBN Antara.

Mulder, Niels. (1999). Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Parekh, Bhikhu. (2008). Rethinking Multiculturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik,Yogyakarta: Kanisius.

Parera, A.D.M. (1971). Sedjarah Politik Pemerintahan Asli (Sedjarah Radja- Radja). Kupang: Departemen P Dan K Nusa Tenggara Timur.

Retnowati, Endang. Politik Kebudayaan Belu, dalam John Haba, dkk.(2016). Peran Bahasa dan Budaya Dalam Konteks Keutuhan NKRI: Konstruksi Identitas dan Nasionalisme di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.

Ritzer, George. (2005). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.

Robot, Marcel. (2013). Menjahit Perbedaan Dengan Cerita Analisis Nilai Kearifan Lokal (Local Wisdom) Cerita Aliensi Belu Mau, Sabu Ma’u dan Ti’i Mau. Dalam Optimisme, Jurnal Bahasa, Sastra dan Budaya. Edisi 6, Mei 2013. FKIP Undana.

Sudiarja, dkk.(Penyunting). (2006). Karya Lengkap Driyarkara Esei-esei Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto (Ed.). (2009). Ranah-ranah Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1988). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka.

Van Peursen, C.A. (1988). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Published

2018-01-21

Issue

Section

ARTICLES