UPACARA SEBA BADUY: SEBUAH PERJALANAN POLITIK MASYARAKAT ADAT SUNDA WIWITAN

Authors

  • Retty Isnendes JPBD UPI Bandung

DOI:

https://doi.org/10.14203/jmb.v18i2.411

Abstract

This article takes the theme of seba ceremony held by the traditional community of Baduy, which is assumed to be a traditional-political journey that has been held for centuries since the founding of Banten Sultanate. The writing aims to: Explain text (ceremony event) and describe the co-text and context of seba ceremony. The method used was descriptive qualitative, conducted through library research, observation, interview, and recording. Data were processed using transcription, analysis, and interpretation. The data collected consisted of seba leutik (small seba) ceremony from May 1-5, 2014 and seba ageung (the grand/big ceremony) from April 23-26, 2016. The results reveal that seba ceremony is held simultaneously by Baduy community (Baduy Luar and Dalam/Outer and Inner Baduy) with different procedures. What distinguishes the ceremony is the existence of lalampah, a journey heading to the capitals of the Regency and Province, which is done by Baduy Dalam community by foot, while Baduy Luar community do this by vehicle. The seba ceremony itself consists of seba ageung (the grand/big ceremony) and seba leutik (small seba), held annually. Seba is the awarding of marks of honor and recognition by Baduy community as those who ‘nu tapa di mandala’ (meditate in the holy land) to those who ‘nu tapa di nagara’ (meditate in the state). With these political marks, they expect that their rights of communal land protection and community prosperity will be fulfilled. The accompaniments to the text of seba are goods resulted from the holy ritual of kawalu, namely laksa and produce as well as rajah utterances (mantra) and traditional speeches. Keywords: Seba Baduy, traditional politic, Sunda Wiwitan Tulisan ini mengangkat upacara seba yang dilakukan oleh masyarakat adat Baduy yang diasumsikan sebagai perjalanan politik tradisional yang telah dilakukan berabad-abad lamanya, semenjak kesultanan Banten berdiri. Tujuan tulisan ini adalah: memaparkan teks (peristiwa upacara), mendeskripsikan ko-teks, dan konteks upacara seba. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik studi pustaka, observasi, wawancara, dan perekaman. Pengolahan data dilakukan dengan transkripsi, analisis, dan interpretasi. Data yang dikumpulkan adalah upacara seba leutik (seba kecil) pada tanggal 01 s.d. 05 Mei 2014 dan seba ageung (seba besar) pada tanggal 23-26 April 2015. Hasilnya adalah bahwa upacara seba dilakukan pada waktu bersamaan oleh masyarakat Baduy (dalam dan luar) dengan tata cara yang berbeda. Hal yang membedakannya adalah adanya lalampah yang dilakukan oleh orang Baduy Dalam dengan berjalan kaki menuju kota Kabupaten dan Propinsi, sedangkan orang Baduy Luar menggunakan kendaraan. Upacara seba terdiri atas seba ageung (seba raya/besar) dan seba leutik (seba kecil) yang dilakukan selang setahun sekali. Seba adalah menyerahkan tanda penghormatan dan penghargaan masyarakat Baduy sebagai ‘nu tapa di mandala’ (yang bertapa di tanah suci) pada mereka ‘nu tapa di nagara’ (yang bertapa di negara). Dengan tanda politis tersebut, mereka berharap haknya terpenuhi atas perlindungan tanah ulayat dan kesejahteraan masyarakatnya. Hal-hal yang menyertai teks seba adalah barang-barang yang berupa hasil ritual suci kawalu, yaitu laksa dan hasil bumi, juga tuturan rajah (mantra) dan pidato tradisional. Kata kunci: Seba Baduy, politik tradisional, Sunda wiwitan

Downloads

Download data is not yet available.

References

Danadibrata, R.A. (2006). Kamus Basa Sunda. Bandung: Panitia Penerbitan Kamus Basa Sunda.

Ekadjati, E.S. (1995). Kebudayaan Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.

Garna, Y. (1993). “Masyarakat Baduy di Banten†pada Masyarakat Terasing di Indonesia (Koentjaraningrat, dkk). Jakarta: Gramedia.

Isnendes, R. (2010). Kajian Sastra: Aplikasi Teori & Kritik Sastra Sunda dan Indonesia. Bandung: Daluang.

Isnendes, R. (2013). “Upacara Ngalaksa di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang dalam Perspektif Pendidikan Karakter†(Disertasi). Bandung: Prodi Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana UPI.

Kurnia, A. & Sihabudin, A. (2010). Saatnya Baduy Bicara. Banten: Bumi Aksara dan UNTRTA.

Millie, J.P. (2006). Splashed by The Saint: Ritual Reading and Islamic Sanctity in West Java. Leiden: Leiden University.

Pudentia, MPSS (ed). (1999). “Makyong: Transformasi Seni Melayu Riauâ€. Jakarta: ATL.

Pudentia, MPSS. (2008). Metodologi Kajian Tradisi Lisan (Jilid II). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & The Ford Foundation.

Rusyana, Yus. (1970). Bagbagan Puisi Mantra Sunda. Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda.

Rusyana, Yus. (1996). Tuturan Pencak Silat dalam Tradisi Lisan Sunda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan ATL.

Sibarani, R. (2012). Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Tim Penyusun Kamus. (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Issue

Section

ARTICLES